Literasi : “now and then”

Beberapa waktu lalu saya sempat termenung sejenak di kelas ketika jam literasi berlangsung.  Saya melihat aktifitas murid-murid saya saat itu ada yang sedang asik membaca novel, ada yang sekedar membuka buku dan melihat-lihat gambar didalamnya sembari berkomentar dengan sesama rekan sejawatnya, dan ada juga yang membuka buku dan memperlihatkan suatu aktifitas yang bisa kita prediksi dengan sangat mudah sekali bahwa murid tersebut tidak sedang membaca apapun. Tidak perlu diragukan tentang fakta bahwa membaca bukanlah hal yang digemari. Sungguh benar apa yang diungkapkan seorang Neuroscientist, Ryu Hassan, “anda menyuruh orang membaca, saya yakin secapeg apapun mulut anda berucap, anda tidak akan pernah berhasil meminta seseorang untuk melakukan hal yang sesungguhnya tidak membuat mereka bahagia”. Saya pribadi pun merasa, sampai berbusa-lah mulut kita saat meminta murid sendiri untuk suka membaca.

Akhirnya saya memutuskan untuk mencari pemahaman tentang apakah literasi itu. Ditengah pengembaraan saya untuk memahami apa itu literasi, ada ulasan yang disampaikan oleh seorang penulis buku anak-anak, Watiek Ideo yang cukup memahamkan kepada saya, dengan sangat sederhana tentang literasi, bahwa seseorang yang ber-literasi tidaklah semata-mata tentang membaca dan menulis.

Sepanjang ingatan saya, saat masih di pendidikan dasar dahulu, syarat awal yang mutlak harus dikuasai seorang murid adalah mampu membaca dan menulis. Masih jelas diingatan saya betapa saya bekerja keras untuk menghapal huruf dan angka. Saat di kelas 1 sekolah dasar cukup bingung sekali bapak saya ketika mengetahui putrinya ini belum lancar membaca. Segala usaha dilakukan untuk membuat saya mampu membaca lancar, termasuk mewajibkan saya membaca bertumpuk-tumpuk majalah anak-anak sampai membeli mainan berbentuk angka dan huruf warna warni. Saya yakin teman-teman seusia saya paham dengan pengalaman masa kecil saya yang satu ini.

Dapat diamati bahwa konsep ini pun tetap berlaku sampai beberapa tahun yang lalu yang dimana ada syarat bahwa seorang anak bisa memasuki jenjang Pendidikan Sekolah Dasar asalkan sudah bisa membaca dan menulis. Entah kenapa konsep menghapal yang seperti ini bisa dikatakan bukanlah hal yang cukup menyenangkan. Rasanya seorang murid dipaksa atau mungkin dibatasi tentang ber-literasi adalah semata-mata seputar mampu membaca dan menulis saja. Jika saya boleh mengatakan bahwa ada konsep lama yang  keliru tentang makna literasi yang sebenarnya.

Menurut KBBI literasi adalah merupakan suatu kemampuan menulis dan membaca, ataupun pengetahuan serta keterampilan maupun kemampuan seseorang dalam mengolah informasi serta pengetahuan untuk kecakapan hidup. Lalu literasi menurut Kemendikbud adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Dari pemahaman tersebut saya menyimpulkan bahwa literasi sebenarnya adalah kemampuan yang kompleks, tidak hanya sekedar membaca dan menulis, tapi juga memahami sesuatu sampai melalui proses penerapan dan bernalar. Saya kembali berpikir, berarti tidak salah jika literasi adalah salah satu hal yang sangat ditekankan oleh pemerintah pada masa sekarang sebagai unsur keberhasilan pembelajaran di sekolah-sekolah.

Karena didalam literasi disamping kemampuan baca tulis, sebenarnya juga terdapat kemampuan berupa kecakapan hidup (life-skill) sebagai penunjang kemampuan kita untuk berkontribusi dalam masyarakat. Didalam literasi sesungguhnya terdapat aktifitas bernalar yang menyertai, sehingga kita mampu mengambil esensi dari hal-hal yang kita pelajari. “Nalar adalah kacamata yang membuat kita membaca tanpa silau”, menurut Prof.Quraish Shihab.

Literasi dapat dilakukan secara bertahap dengan diawali hal yang cukup sederhana yaitu dengan melakukan komunikasi yang interaktif. Dimana komunikasi yang dilakukan memiliki timbal balik sehingga memberikan stimulus dalam pencapaian proses menangkap ide atau informasi yang menjadi pengetahuan buat siapapun yang terlibat didalam interaksi tersebut. Aktifitas seperti “mendengar, menyimak, memahami, mengolah, merespon” adalah kegiatan yang cukup mudah dan sederhana yang dapat dilakukan, dan sejatinya aktifitas tersebut merupakan bagian dari literasi.

Ada yang menarik dari artikel yang pernah saya baca, bahwa di Inggris para siswa pendidikan dasar belajar tentang perilaku atau tata krama dari membaca cerita-cerita yang sarat dengan cerminan etika terkait bagaimana berempati dan memahami batas-batas sosial masyarakat. Dari sini bisa dipahami mengapa literasi juga menjadi  alat penting pendidikan sebagai pembangun moral bangsa, sebagaimana pendapat Karlina Supeli bahwa pendidikan sesungguhnya tidak hanya mengolah akal-budi tetapi juga mengolah emosi batin.

Bisa disimpulkan bahwa literasi lebih dari sekedar membaca dan menulis , literasi sebagai kemampuan kognitif sesungguhnya memiliki banyak unsur pembentuknya. Dengan ber-literasi yang baik seseorang akan memiliki bekal kecakapan hidup untuk mampu memahami perannya dalam masyarakat. Dan jika saya menyatakan bahwa Literasi itu penting untuk membentuk generasi yang berperadaban, saya yakin anda pun setuju. Tujuan pendidikan saat ini yaitu terciptanya pembelajar sepanjang hayat dipastikan akan terwujud jika literasi benar-benar dipahamkan.

Semoga rekan-rekan guru juga memiliki pendapat yang sama, salah satu hal yang paling sederhana untuk berliterasi adalah “tingkatkan interaksi yang bermakna” dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun.

May 15th, 2024

19:15

By N.

Leave a comment

I’m IKA

PROLOG
My name is Ika Nurfanis Anggraini, and this is my blog. It has been made as my private journal which is containing my perspectives toward any materials relate to education and lifestyle. This blog is the way myself expressing ideas. My writings are based on books, podcasts, and my personal experiences. These, I lead as my efforts in maintaining personal growth mindset.

Let’s connect

Design a site like this with WordPress.com
Get started