Apa Yang Tidak Diajarkan Di Sekolah

Melihat siswa yang sedang disibukkan dengan proyek riset sekolah adalah hal yang cukup menarik bagi saya. Mereka melakukan penelitian dengan menghasilkan berbagai produk dari pupuk sampai makanan. Karena yang mengerjakannya adalah anak-anak dan semuanya adalah tahap ‘percobaan’, alhasil produk-produk yang dihasilkan pun kurang lebihnya ada yang diluar ekspektasi, ada yang sedikit memenuhi harapan, namun ada juga yang hasilnya nyaris dikatakan ‘sukses’. Banyak siswa yang mengkhawatirkan apabila proyek-proyek yang mereka kerjakan tidak berhasil, banyak dari mereka yang mengharapkan bahwa setiap percobaan yang mereka lakukan harus  membuahkan produk yang sukses dengan pengerjaaan sesuai perencanaan dan hasil yang sempurna pula. Maka tidak jarang kami para gurunya berusaha meyakinkan kepada mereka bahwa dalam suatu penelitian jangan selalu mentargetkan bahwa setiap hasilnya itu akan selalu sukses, dalam arti lain bahwa suatu penelitian diperbolehkan untuk ‘tidak berhasil’.

Menghadapi hal yang demikian teringat saya dengan ulasan Raymond Chin, seorang influencer, content-creator, Key Opinion Leader, apapun sebutan dari pria berwajah oriental yang juga CEO Livestock Money ini di solo-podcastnya tentang “apa yang tidak diajarkan di sekolah”. Saya mendengarkan podcast episode tersebut beberapa kali, dan bagi saya cukup memberi insight dan membuka perspektif saya terkait dengan cerita yang saya alami ditulisan awal tadi.

Jika ada yang bertanya, “apa tujuan kamu sekolah ?”, jawaban paling jujur yang sekiranya selalu kita dapatkan dan sesuai dengan keadaan dunia nyata adalah kita sekolah agar kelak memiliki masa depan yang cerah dengan mendapatkan pekerjaan yang bagus, yang  memberi kemapanan secara finansial. Menurut Raymond Chin, pembelajaran hidup yang terkait hal tersebutlah (life-skill) yang banyak terlewatkan oleh lembaga sekolah-sekolah di Indonesia.

Pembelajaran yang memberikan pembekalan Life-Skill bagi siswa untuk mendukung keberhasilan mereka di masa depan adalah yang sebenarnya dibutuhkan dan it is the best teacher, ever, tapi ironically di sekolah banyak melewatkan pembelajaran tersebut. So, cukup logis juga rasanya apabila ada kurikulum sekolah TK-Paud di China berani mengajarkan siswanya berupa pelajaran life-skill sesuai tahap tumbuh kembang mereka kedepannya seperti menggoreng telur, menyapu, mengepel lantai, mencuci baju, melipat baju, menyeduh teh, menata meja, cara makan yang baik, memasukkan benang ke lubang jarum, dll. Sekilas hal-hal tersebut sepele, tapi it is life-skill, and it is a matter.

Menurut Chin, tidak banyak life-skill yang diajarkan disekolah yang dimana pada intinya life-skill tersebut adalah hal-hal yang dikategorikan sebagai ketrampilan yang wajib dikuasai agar kita bisa bertahan hidup, membuat keputusan, berkarir, bersosialisasi, dan menjadi bagian di masyarakat.

Skill yang pertama adalah terkait dengan “membuat kesalahan”. Sejak awal kita diajarkan jangan sampai kita membuat kesalahan, konsep tentang “kesalahan” realitanya truly misguided. So, jadinya banyak dari kita yang takut maju duluan sebelum berperang gara-gara doktrin bahwa membuat kesalahan itu “no way” banget, kalau bisa terhindar dari kesalahan dan pantang untuk kita mengambil resiko dalam hal apapun. Padahal membuat kesalahan itu “it’s okay”, kesalahan yang membuat gagal itu bukan fokus kita, tetapi cara kita bangkit kembali dari kesalahan itulah yang sebenarnya kita harus kuasai. Jadi, kesalahan itu hal biasa, dan di tiap kesalahan itulah kita bisa belajar. Berusahalah untuk selalu bisa mengakui kesalahan, yang selanjutnya menganalisa apa yang membuat kita melakukan kesalahan, dan next, memperbaiki bagaimana caranya kesalahan itu agar tidak terulang lagi dan kita berusaha untuk improve pada tahap selanjutnya.. So, first life-skill adalah cara dealing with failure or mistake is important, karena realitanya dikehidupan ini kita akan selalu banyak dihadapkan dengan apa itu fase membuat kesalahan.

Life-skill kedua adalah terkait dengan “mencari kesempatan”, logikanya kita dari SD sampai Kuliah selalu diajarkan bagaimana cara menjalankan pekerjaan dengan baik, tapi belum diajarkan bagaimana cara mencari pekerjaan dengan baik. Hal-hal dasar bagaimana cara membuat Curriculum Vitae yang benar, cara berkomunikasi formal dengan baik saat wawancara, berbagai skill seperti resume writing, job searching, networking, interviewing belum banyak diajarkan di sekolah. Jadi, berinvestasi skill sebanyak mungkin basically is very important, be multidimensional. Jika ini dilakukan maka dimungkinkan tidak bakal ada kata-kata dari mereka yang baru lulus sekolah atau kuliah dan ingin terjun di dunia kerja tapi next berkata bingung akan melakukan pekerjaan apa.

Skill yang nomer tiga adalah terkait dengan “cuan” alias money. Saat ini banyak orang-orang yang terjebak pinjol, terlilit hutang, duit hilang, bayar kredit serasa “inhale-exhale high-impact” alias “ngos-ngosan”, jadi Skill yang selanjutnya adalah budgeting. Bagaimana kita tidak hanya berurusan dengan menghasilkan uang saja, tapi bagaimana mengatur keuangan kita, menjaga asset, melipatgandakan uang dengan benar, sampai kita meraih predikat fine-financially. Tidak dipungkiri bahwa seumur hidup kita pasti berurusan dengan uang. Jadi, life-skill terkait finansial itu penting.

Skill yang nomer empat adalah “interaksi sosial”. Di sekolah kita bisa mengamati rasanya ada hukum rimba yang menentukan kita termasuk di bagian yang mana dari komunitas, apakah kita dikategorikan sebagai “anak keren”, anak yang “di-bully”, atau anak yang “invisible” alias netral-netral saja. Tapi sayangnya ketiga hal tersebut benar-benar berlaku dan membentuk sisi psikologis kita, dan harapannya adalah kita tidak  termasuk kedalam ketiga-tiganya, intinya yang benar adalah bagaimana kita menjadi pribadi yang “blend-well” ke setiap level sosial di manapun kita berada. So, ketrampilan bersosialisasi yang baik itu penting untuk suksesnya kita di masa depan, bagaimana caranya kita berkomunikasi/networking , menginisiasi resolution-conflict, dan menjadi pendengar yang baik (active listener). Ini penting, karena seluruh kesempatan yang datang dalam hidup kita pasti berasal dari orang lain.

Skill yang terakhir adalah “emotional intelligence”. Untuk yang satu ini, mengingatkan saya dengan buku karangan Daniel Goleman, dan untuk opini Chin terkait “emotional intelligence” (EI) saya termasuk yang  double-pro. Selama ini di sekolah kita diutamakan untuk selalu belajar cara berpikir rasional, dan inilah yang terkadang membuat orang pintar menjadi tidak sukses. IQ sudah bukan standar lagi, tapi bagaimana kita pintar mengendalikan emosi-lah yang menjadi bekal kita untuk mengambil keputusan yang tepat. Karena sering kita membuat keputusan yang buruk karena emosi. EI mengajarkan self-awareness alias sadar diri, bagaimana kita memahami  segala hal yang men-trigger emosi atau perasaan kita. Selanjutnya adalah self-management, bagaimana kita mengakui atau tidak menolak emosi/perasaan yang kita rasakan sehingga kita paham bagaimana kita bisa mengendalikannya. Selanjutnya adalah social-awareness bagaimana kita belajar untuk menjadi individu yang memiliki empati atau peka terhadap lingkungan atau orang-orang yang ada disekitar kita sampai kita mencapai relationship-management yaitu cara kita berhubungan dengan orang lain secara socially blend-well.

Demikianlah, apa yang sudah diulas oleh Raymond Chin. Menurut saya secara logika memang pemaparan life-skill versi Chin tersebut cukup bisa diterima. Kalaupun sekolah-sekolah sudah mengajarkan ketrampilan-ketrampilan tersebut, sepertinya setiap sekolah memiliki konsep sendiri yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Menurut anda ?

April 18th , 2024.

16:44   

by N.

Leave a comment

I’m IKA

PROLOG
My name is Ika Nurfanis Anggraini, and this is my blog. It has been made as my private journal which is containing my perspectives toward any materials relate to education and lifestyle. This blog is the way myself expressing ideas. My writings are based on books, podcasts, and my personal experiences. These, I lead as my efforts in maintaining personal growth mindset.

Let’s connect

Design a site like this with WordPress.com
Get started